Latar Belakang
Awal 2004 saat layanan wireless ISP sudah mulai menjamur di Pulau Jawa, pelan namun pasti juga mulai merambah Kota Padang; kami masih mencoba melihat dan menimbang-nimbang perangkat yang akan digunakan sebagai BTS. Cukup banyak pilihan dari sisi merk, fitur, harga dan lain-lain sebagainya.
Salah satu teman yang baru saja mencoba menjadi WISP, memutuskan menggunakan perangkat S. Perangkat dan tenaga installatur datang dari Pulau Jawa. Pemain lain yang sudah jalan duluan juga menggunakan perangkat S. Sebagai catatan, standard wireless yang digunakan oleh kedua teman tersebut adalah 802.11b, maksimal data-rate 11Mbps. Visi kami waktu itu adalah bagaimana supaya bisa tampil beda dan berkualitas dibandingkan dengan yang sudah ada.
Arahan menggunakan MikroTik
Pilihan untuk tampil beda mulai kelihatan saat munculnya standard 802.11g (maksimal data-rate 54Mbps) dan compatible dengan standard pendahulunya; 802.11b. Namun masih belum memutuskan merk. Atas saran dari salah satu pemilik perusahaan, diarahkan untuk menggunakan MikroTik. Waktu itu, licensenya masih tahunan; tidak seperti saat ini. Alasan lain adalah karena MikroTik mendukung standard 802.11g serta mendukung long-range input voltage. Faktor lain yang cukup penting adalah bahwa perangkat RouterBoard dengan operating system RouterOS tidak pernah reset-to-factory-default karena fluktuasi listrik.
Akhirnya dipesanlah 1 unit RB230 dengan PCMCIA wireless card a/b/g 65mW. Cara installasi, troubleshoot disimulasi dan dipelajari bersama tim sebelum pemasangan. Kalau kedua teman di atas menggunakan metode bridge, maka kami memilih menggunakan metode routing yang mana lebih mudah untuk mengontrol masing-masing subnet.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami memesan 5 unit RB532; 3 unit diantaranya dengan daughter-board RB504. Semuanya menggunakan wireless card R52 (65mW). Coverage area yang bisa dicapai rata-rata 4KM dari BTS.
Jarak terjauh yang sempat kami pasang adalah 22KM dari BTS utama ke BTS remote di batas kota, masih dengan menggunakan card wireless R52 (65mW), band 2.4GHz-G ditambah dengan penguatan antena grid 24GHz.
Untuk client VSAT yang ada di Kepulauan Mentawai dan Nias, kami memilih RB133 dan kemudian berganti ke RB433. Alasan utama adalah karena rata-rata client menggunakan genset sendiri sebagai sumber arus listrik, dan MikroTik sudah lolos test internal kami dimana cukup tahan terhadap fluktuasi listrik. Hal ini sudah dibuktikan dengan penggunaan perangkat MikroTik saat kebutuhan data sangat diperlukan di daerah bencana, seperti di Aceh, Nias dan Jogja.
Singkat kata, pilihan kami waktu itu menggunakan MikroTik adalah sebagai berikut :
Keraguan Pihak Lain
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilihan yang kami lakukan pasti akan ada Pro dan Kontra. Disini kami mencoba menjawab beberapa point kontra, yakni :
- Hal ini tidak bisa dikatakan benar secara absolute karena saat ini de-facto sekitar 90% Penyedia Jasa Internet menggunakan MikroTik di data-center mereka. MikroTik juga telah digunakan sebagai router utama pada hotel-hotel besar sebagai firewall dan engine hotspot mereka.
- Konsep dasar jaringan adalah sama dan dapat diterapkan pada berbagai perangkat network, tapi fitur yang ditawarkan pasti berbeda. Pada kelas pelatihan, cukup sering dijumpai peserta yang sudah terbiasa dengan perangkat C, tapi cukup kesulitan untuk beradaptasi dengan MikroTik.
- Konfigurasi build-in tergantung dari vendor, bukan dari kemauan user. Fitur build-in tidak bisa digunakan pada semua kasus. Dengan adanya konfigurasi dari scratch maka kita bisa benar-benar bisa melakukan konfigurasi custom sesuai dengan yang diinginkan, bukan berdasarkan vendor.